Jumat, 21 Desember 2012

Mak, Aku ingin jadi Pawang Hujan



"Jika saja setiap orang mengerti mengapa Tuhan menciptakan hujan. Bila saja mereka mafhum bagaimana malaikat mengarak awan dan menurunkan petir. Kalau saja mereka benar-benar ' ngeh'  rasanya menjadi "'hujan'. Dan seandainya saja mereka benar-benar paham mengapa aku ingin menjadi pawang hujan"


 "Hujan"!!!!, pekik gadis kecil itu.

Matanya bersinar seperti baru melihat dunia. Ia sangat sangat menyukai hujan. Jika Tuhan menghadiahkannya sebuah permintaan yang pasti terkabulkan, maka ia akan menunjuk langit dan meminta hujan. Ia akan meminta hujan itu diturunkan perlahan, agar ia bisa menyentuh tiap butirnya, agar ia bisa menatap tiap tetesnya, agar ia bisa mengecap tiap titiknya. Pernah ia ditanya oleh guru di dalam kelas;
"Hai anakku, apakah cita-citamu kelak?"
"Aku ingin menjadi hujan bapanda guru"
"Wah, impian yang bagus", ujar pak guru sambil tersenyum dalam hati,
"Ada apa dengan hujan anakku?"
"Aku mencintai hujan. Kata emak, aku lahir ketika hujan menyentuh bumi. Dan aku tidak hanya suka hujan, aku suka petir. Emak juga bilang, atas izin Tuhan, Malaikat menurunkan hujan dengan mengarak awan. Malaikat mengendalikan awan dengan menggunakan cambuk. Dan petir itulah cambuknya".
"Terus, apa yang istimewa dengan hujan menurutmu?"
"Aku sangat ingin menjadi hujan. Dengan hujan muncul banyak kehidupan. Karena hujan maka biji mewujud menjadi kecambah dan tumbuhlah sayur dan pohon. Berkat hujan, petani bisa mengairi sawah. Sebab hujan, adik bisa bermain perahu-perahu. Dan hujanlah yang memberikan pekerjaan pada malaikat-malaikat, benarkan bapanda guru?"
Pak guru hanya diam dan kemudian tersenyum pada gadis kecil tu.


"Masuk cepat nduk", teriak emak dari dalam rumah, "kau bisa masuk angin nanti".

"Tunggu mak, hujan ini masih merindukanku", balas si gadis kecil."

Emak hanya geleng-geleng kepala. Ia sebenarnya tidak terlalu khawatir. Hujan sama sekali tidak berbahaya. Hujan tidak mungkin tega melukai gadis kecilnya. Hujan telah menjadi sahabat mereka selama ini. Berkat hujan, mereka bisa makan sehari-hari, meskipun dengan menu sederhana. Ya, suaminya bekerja sebagai tukang servis payung keliling. Meski berpendapatan kecil, suaminya tetap bisa memenuhi kebutuhan mereka selama ini.
"Mak, tahukah engkau kenapa hujan baru turun hari ini? Selama dua bulan, aku tidak melihat mereka. Mungkinkah malaikatnya sakit?" tanya Gadis kecil antusias ketika ia memasuki rumah.
"Tidak nduk. Malaikat tidak mungkin sakit.  Mungkin, seseorang membutuhkan hujan hari ini, sehingga Tuhan menitahkan malaikat untuk menurunkannya".
"Aku selalu membutuhkan hujan, tapi kenapa Tuhan tidak memberiku hujan?"
"Apa yang kau butuhkan dari hujan?" Kau hanya bermain-main ketika turun hujan bukan"?
"Ya benar, aku memang bermain dengan mereka. Ketika hujan menyentuhku, mereka menjadi bagian dari diriku. Bahkan, mereka bisa menjadi sayapku. Aku bisa melangit dan pergi kemana pun aku suka. Tidakkah mak lihat aku terbang tadi"?

Emak terdiam sejenak. Selama ini, anak gadisnya sangat terobsesi dengan hujan. Emak sepenuhnya tidak merasa cemas. Ia percaya pada Pemilik dan Pencipta hujan. Ia percaya, Tuhan lebih tahu apa yang terbaik buat anaknya.

"Iya anakku. Apapun itu, Tuhan lebih tahu kapan kamu butuh hujan dan kapan tidak. Ia akan membimbingmu sebagaimana ia membimbing Musa ketika membelah lautan. Dan smoga Ia memberkatimu dengan hujan seperti Ia memberkati Yunus dengan paus dan Nuh dengan kapalnya".

"Apakah menurut mak aku bisa jadi hujan?"

"Kita dan hujan pada dasarnya serupa. Tidak hanya hujan, semua benda di alam ini,  pada tingkatan terhalus tersusun atas materi yang sama. Dan pada aras inilah kita saling terhubung satu sama lain. Kau akan memahami ini nanti".

"Terus, untuk apa hujan diciptakan?"

"Setiap materi di alam ini bisa punya dua sisi, begitu pula hujan. Hujan bisa menjadi berkah sekaligus sebagai azab".

"Apakah manusia juga seperti itu mak?"

"Ya anakku. Manusia diberi kesempurnaan berupa ruh dan akal. Manusia ditakdirkan sebagai khalifah untuk menjaga bumi. Akan tetapi, banyak dari mereka yang kemudian khilaf dan tidak menggunakan akalnya. Mereka lupa hakikat mereka diciptakan. Mereka tidak menyadari bahwa mereka, sejatinya, bukanlah manusia yang sedang menjalani kehidupan ruh, akan tetapi ruh  yang sedang menjalani kehidupan manusia*. Dan, pada akhirnya mereka membuang kesempurnaan itu".

"Aku tidak mengerti sepenuhnya mak. Tapi, aku ingin menjadi khalifah sejati. Akan kumulai dengan menjaga apa yang kucintai. Aku mungkin tidak bisa menjadi hujan, tapi aku bisa menjaga hujan". ucap gadis kecil itu mantap sambil tersenyum sumringah dan berbalik menatap hujan.

                                                                          ***

Hujan baru saja reda. Gelap memeluk bumi. Suara jangkrik dan serangga lain menjadi kidung pujian pada Pencipta, menggantikan bunyi hujan yang telah sirna. Rumah itu tampak temaram. Emak baru saja selesai memasak nasi, sementara sang gadis kecil tengah asyik bermain dengan adiknya. Ayah belum pulang dari bekerja. Biasanya jika hujan di sore seperti hari ini, ayah pulang ba'da Magrib.

to be continueeee.,,,,,,,,,,,,,,,,,again :D

-SAT-

Comments
0 Comments

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Your Comment here, please:

Page